SMOKING GUN! Temuan NIK Ganda di Dokumen Lelang RSUD Metro Bongkar Dugaan Monopoli Proyek Fisik METRO, LAMPUNG – Praktik kotor dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah diduga kuat terjadi secara sistematis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jenderal Ahmad Yani, Kota Metro. Laporan audit forensik terbaru membongkar skema manipulasi tender proyek infrastruktur Tahun Anggaran 2024-2025 yang disinyalir dikendalikan oleh kartel pengadaan dengan restu oknum manajemen. Investigasi mendalam terhadap data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) menemukan pola kecurangan yang vulgar: mulai dari tender "arisan", penggunaan perusahaan cangkang, hingga rekayasa evaluasi untuk menggugurkan penawar dengan harga efisien demi memenangkan kontraktor tertentu dengan harga tinggi. Analisis jejak digital mengungkap pola Rotasi Pemenang (Bid Rotation) yang mencolok antara dua kontraktor utama: CV. Tujuh Tujuh dan CV. Indra Putra Subing. Tender 2024 (Gedung Rawat Inap - Pagu Rp 4 M): CV. Tujuh Tujuh keluar sebagai pemenang dengan nilai kontrak Rp 3,05 Miliar. Sementara itu, CV. Indra Putra Subing dikalahkan dengan alasan teknis. Tender 2025 (Labkesmas - Pagu Rp 10,4 M): Giliran CV. Indra Putra Subing yang dimenangkan dengan kontrak jumbo Rp 9,3 Miliar. Pada tender ini, CV. Tujuh Tujuh diduga berperan sebagai "perusahaan pendamping" untuk menciptakan ilusi kompetisi. Pola bergantian ini mengindikasikan adanya kesepakatan di bawah meja untuk membagi "kue" proyek secara berkala, sebuah ciri khas operasi kartel tender. Bukti paling tak terbantahkan (smoking gun) ditemukan dalam tender Pembangunan Labkesmas 2025. Dokumen evaluasi Pokja secara eksplisit mencatat pengguguran peserta bernama CV. Purwa Inti Sentosa. Alasannya mengejutkan: personel kunci perusahaan tersebut memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang SAMA dengan personel di CV. Tujuh Tujuh. "Temuan NIK ganda ini membuktikan bahwa kedua perusahaan tersebut berada dalam satu kendali atau kepemilikan silang. Ini pelanggaran terang-terangan terhadap aturan persaingan usaha," tegas laporan investigasi tersebut. Keberadaan "perusahaan cangkang" ini disinyalir hanya untuk memenuhi syarat minimal peserta tender, bukan untuk berkompetisi secara sehat. Panitia tender (Pokja) diduga menggunakan instrumen "Evaluasi Kewajaran Harga" sebagai senjata mematikan untuk menyingkirkan penawar terendah yang berpotensi mengganggu skenario pemenang. Kasus Rawat Inap 2024: Penawar terendah, CV. Indra Putra Subing (Rp 2,9 M), digugurkan setelah Pokja menolak bukti dukung harga satuannya. Pokja kemudian menghitung ulang menggunakan harga pasar/HPS yang tinggi, sehingga total penawaran menjadi "tidak wajar" dan otomatis gugur. Kasus Labkesmas 2025: Penawar terendah, Sempurna Jaya Konsorsium (Rp 7,99 M), juga dibantai dengan modus serupa. Item pekerjaan mahal seperti IPAL dan Sumur Bor diganti harganya dengan standar HPS yang jauh lebih mahal, memaksa penawaran mereka menjadi tidak kompetitif dibandingkan CV. Indra Putra Subing yang menawar Rp 9,3 M. Akibat praktik ini, negara dipaksa membayar lebih mahal kepada kontraktor pilihan, sementara efisiensi anggaran yang ditawarkan peserta lain dibuang. Menanggapi temuan data yang sangat telanjang ini, Ketua LSM SIGAP (Sentra Investigasi & Advokasi Anggaran Publik), Okta Hariansyah, memberikan reaksi keras. Ia menilai pola-pola yang ditemukan dalam tender RSUD Ahmad Yani bukan lagi sekadar maladministrasi, melainkan kejahatan korporasi yang terencana. "Data NIK ganda dan pola arisan tender ini adalah bukti smoking gun yang tak terbantahkan. Ini bukan kebetulan, ini perampokan uang rakyat yang dirancang matang," tegas Okta Hariansyah dalam keterangan resminya. Okta mendesak aparat penegak hukum tidak menutup mata. Menurutnya, bukti-bukti elektronik di LPSE sudah lebih dari cukup untuk memulai penyidikan. "Kami menantang Kejaksaan Negeri Metro dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk segera turun tangan. Seret semua yang terlibat, mulai dari kontraktor pelaksana, perusahaan pendamping, hingga oknum Pokja dan Pejabat RSUD yang memuluskan jalan kartel ini. Jangan sampai uang miliaran rupiah habis hanya untuk memperkaya sindikat!" desak Okta. Baca Juga:KADO TERINDAH HARI GURU! MASJID IMPIAN SMKN 3 METRO, BUAH KETULUSAN GURU BERDIRI MEGAH Temuan korupsi yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) ini menuntut tindakan tegas. Selain proses pidana, sanksi administratif berupa daftar hitam (blacklist) nasional harus segera diterapkan kepada seluruh perusahaan yang terbukti terlibat dalam persekongkolan ini. Tanpa pembersihan total, RSUD Ahmad Yani akan terus menjadi sapi perah kartel proyek yang menggerogoti uang rakyat dan mengorbankan kualitas infrastruktur kesehatan publik.(*)
SMOKING GUN! Temuan NIK Ganda di Dokumen Lelang RSUD Metro Bongkar Dugaan Monopoli Proyek Fisik METRO, LAMPUNG – Praktik kotor dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah diduga kuat terjadi secara sistematis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jenderal Ahmad Yani, Kota Metro. Laporan audit forensik terbaru membongkar skema manipulasi tender proyek infrastruktur Tahun Anggaran 2024-2025 yang disinyalir dikendalikan oleh kartel pengadaan dengan restu oknum manajemen. Investigasi mendalam terhadap data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) menemukan pola kecurangan yang vulgar: mulai dari tender "arisan", penggunaan perusahaan cangkang, hingga rekayasa evaluasi untuk menggugurkan penawar dengan harga efisien demi memenangkan kontraktor tertentu dengan harga tinggi. Analisis jejak digital mengungkap pola Rotasi Pemenang (Bid Rotation) yang mencolok antara dua kontraktor utama: CV. Tujuh Tujuh dan CV. Indra Putra Subing. Tender 2024 (Gedung Rawat Inap - Pagu Rp 4 M): CV. Tujuh Tujuh keluar sebagai pemenang dengan nilai kontrak Rp 3,05 Miliar. Sementara itu, CV. Indra Putra Subing dikalahkan dengan alasan teknis. Tender 2025 (Labkesmas - Pagu Rp 10,4 M): Giliran CV. Indra Putra Subing yang dimenangkan dengan kontrak jumbo Rp 9,3 Miliar. Pada tender ini, CV. Tujuh Tujuh diduga berperan sebagai "perusahaan pendamping" untuk menciptakan ilusi kompetisi. Pola bergantian ini mengindikasikan adanya kesepakatan di bawah meja untuk membagi "kue" proyek secara berkala, sebuah ciri khas operasi kartel tender. Bukti paling tak terbantahkan (smoking gun) ditemukan dalam tender Pembangunan Labkesmas 2025. Dokumen evaluasi Pokja secara eksplisit mencatat pengguguran peserta bernama CV. Purwa Inti Sentosa. Alasannya mengejutkan: personel kunci perusahaan tersebut memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang SAMA dengan personel di CV. Tujuh Tujuh. "Temuan NIK ganda ini membuktikan bahwa kedua perusahaan tersebut berada dalam satu kendali atau kepemilikan silang. Ini pelanggaran terang-terangan terhadap aturan persaingan usaha," tegas laporan investigasi tersebut. Keberadaan "perusahaan cangkang" ini disinyalir hanya untuk memenuhi syarat minimal peserta tender, bukan untuk berkompetisi secara sehat. Panitia tender (Pokja) diduga menggunakan instrumen "Evaluasi Kewajaran Harga" sebagai senjata mematikan untuk menyingkirkan penawar terendah yang berpotensi mengganggu skenario pemenang. Kasus Rawat Inap 2024: Penawar terendah, CV. Indra Putra Subing (Rp 2,9 M), digugurkan setelah Pokja menolak bukti dukung harga satuannya. Pokja kemudian menghitung ulang menggunakan harga pasar/HPS yang tinggi, sehingga total penawaran menjadi "tidak wajar" dan otomatis gugur. Kasus Labkesmas 2025: Penawar terendah, Sempurna Jaya Konsorsium (Rp 7,99 M), juga dibantai dengan modus serupa. Item pekerjaan mahal seperti IPAL dan Sumur Bor diganti harganya dengan standar HPS yang jauh lebih mahal, memaksa penawaran mereka menjadi tidak kompetitif dibandingkan CV. Indra Putra Subing yang menawar Rp 9,3 M. Akibat praktik ini, negara dipaksa membayar lebih mahal kepada kontraktor pilihan, sementara efisiensi anggaran yang ditawarkan peserta lain dibuang. Menanggapi temuan data yang sangat telanjang ini, Ketua LSM SIGAP (Sentra Investigasi & Advokasi Anggaran Publik), Okta Hariansyah, memberikan reaksi keras. Ia menilai pola-pola yang ditemukan dalam tender RSUD Ahmad Yani bukan lagi sekadar maladministrasi, melainkan kejahatan korporasi yang terencana. "Data NIK ganda dan pola arisan tender ini adalah bukti smoking gun yang tak terbantahkan. Ini bukan kebetulan, ini perampokan uang rakyat yang dirancang matang," tegas Okta Hariansyah dalam keterangan resminya. Okta mendesak aparat penegak hukum tidak menutup mata. Menurutnya, bukti-bukti elektronik di LPSE sudah lebih dari cukup untuk memulai penyidikan. "Kami menantang Kejaksaan Negeri Metro dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk segera turun tangan. Seret semua yang terlibat, mulai dari kontraktor pelaksana, perusahaan pendamping, hingga oknum Pokja dan Pejabat RSUD yang memuluskan jalan kartel ini. Jangan sampai uang miliaran rupiah habis hanya untuk memperkaya sindikat!" desak Okta. Baca Juga:KADO TERINDAH HARI GURU! MASJID IMPIAN SMKN 3 METRO, BUAH KETULUSAN GURU BERDIRI MEGAH Temuan korupsi yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) ini menuntut tindakan tegas. Selain proses pidana, sanksi administratif berupa daftar hitam (blacklist) nasional harus segera diterapkan kepada seluruh perusahaan yang terbukti terlibat dalam persekongkolan ini. Tanpa pembersihan total, RSUD Ahmad Yani akan terus menjadi sapi perah kartel proyek yang menggerogoti uang rakyat dan mengorbankan kualitas infrastruktur kesehatan publik.(*)